Rabu, 26 Agustus 2009

LUKA SEPOTONG DOA

Di penghujung malam ia berdiri
di lengang tikungan.
Mencari kawan yang mau mengantar
ke sebuah taman yang
tak pernah ingkar janji memberi

Lama ia menanti...
Tak ada manusia pemberani
penyibak sunyi

Ia sendiri saja malam ini.
Air matanya menitik di embun pagi.


Oktober 2008

HATI

Adalah benci
adalah cinta
adalah jujur
adalah dusta
adalah sedih
adalah gembira

"semua boleh kau kecap,
tapi jangan semua kau lahap!"



Agustus 2007

MALAM

Dan malam yang bisu
diiringi dendang nyanyian rindu
serta bening itu yang
merembes dari mata penuh harap
telah membasuh segala luka
yang kubawa dari seberang samudera
ketika hatiku mengembara
memasuki setitik celah
yang Kau buka
mencari butiran maaf-Mu
di atas sajadahku


Juni 2005

DALAM PENGEMBARAAN

Dalam jauh pengembaraanku
kutemukan lentera kecil
di lorong waktu.
Perlahan sekali kudekati
beharap cahaya ini bisa
menuntunku nanti

Kupegang lentera
erat di ujung hati.
Menapaki perjalanan yang
gelap dan sepi.
Meniti jejak pengembaraanku:
mencari-Mu

CERITA KOTA GERSANG

Kemarau musim ini
pun telah menyurutkan
semua telaga hati
juga sendi-sendi nurani
lapuk menjadi debu
beterbangan

Orang-orang mandi debu
menanggalkan satu demi satu
baju-baju ayat-Mu

inilah cerita kota gersang

bangkitlah kawan...
sirami kotamu dengan
bening akidahmu


November 2004

Selasa, 25 Agustus 2009

GELISAH OMBAK

Kembalikan aku pada bibir pantai-Mu
dimana pernah kulabuhkan rindu.
Rindu sangat hingga tiap jumpa rasa sesaat
sebab nikmat saat kita berpeluk erat.
Maka kembalikan aku yang
tersasar di laut lepas, Kekasih...

Senin, 24 Agustus 2009

JEJAK PENGEMBARA

Di sana, sang pengembara masih terus meniti jalan. Menapak jejak yang hampir lebur dan menguap bersama mentari. Jalanan berdebu. Kemarau musim ini telah mencuri air dari dalam bongkahan-bongkahan bumi dan membawanya bersama udara.

Dalam dahaga yang mulai terasa, ia masih melangkah menuju padang yang tak bertumbuh ilalang. Sebuah padang yang kemarin dikabarkan angin, kalau disanalah mungkin berada apa yang hendak dicarinya.

Namanya Martika, nama yang biasa, nama yang tak seunik obsesinya. Kami jumpa dua tahun silam, di padang gersang yang tak bertumbuh ilalang. Dalam lelah yang sangat, ia masih bisa menyungging senyum, dua matanya memancarkan asa yang meledak-ledak.

***


“Kemarin angin berkata, kalau disini banyak cinta? “, tanyanya padaku dengan nada sungguh-sungguh dan berapi-api.

“Ya, inilah padang cinta”, Jawabku.

“Benarkah?”, Matanya yang bulat memancarkan binar-binar kegembiaraan. Aku mengangguk menegaskan.

“Antarkan aku mencarinya!”, pintanya padaku. Wajahnya memelas dan kulihat rindu disana, seperti malam yang tak kunjung mendapat sinar bulan.

“Aku ingin sekali menemuinya”, Katanya lagi.

Terik matahari menyengati padang gersang yang lama tak tersiram hujan. Terik yang sangat makin menyengati rongga-rongga hati

Berdua kami mencari cinta, di padang nestapa.

“Disana banyak cinta, lihatlah!”, Kataku menunjukkan kerumunan cinta yang melenggang di sudut padang. Kutunjukkan semua cinta yang bertebaran. Wajah-wajah mereka memukau pandangan.

“Bagaimana?” Tanyaku. Kuharap ia menemukan cinta yang dicarinya.

Martika menggeleng pelan. Ada butiran kecewa di seraut wajahnya, juga dalam alunan suaranya.

“Aku tak menemukannya di sini “, Katanya pelan. Kulihat wajahnya sayu menatap senja. “Semua cinta disini telah layu dihujam kemarau, aku ingin cinta yang tetap abadi, walau kemarau dan hujan menghampiri, aku ingin cinta yang hakiki”, lanjutnya. Ada kemantapan dalam nada suaranya. Semantap langkahnya membelah senja

***

Dua tahu sudah. Kutahun Martika telah kembali, bersama rona pelangi dan tarang matahari. Ada gerimis tipis merintik di kedua bola matanya. Sebongkah bahagia kulihat disana.

“Ceritakan padaku, dimana telah kau temukan cinta itu?”, Tanyaku.

“Dia ada disini, di dalam hati, seharusnya aku tak perlu susah payah mencarinya. Dia dekat sekali dengan kita. Aku jauh, Dia jauh. Aku dekat, Dia pun dekat. Katanya. “Selembar kain penutup kepala dia titahkan padaku, sebagai pelindungku, penutup auratku, Dialah sumber segala cinta. Tak pantas kita mencintai apapun melebihi cinta kita pada-Nya. Lanjut Martika mengakhiri ceritanya.

Desember 2002

Ketika hidayah singgah di jiwa
Aku ingin dia selamanya menetap di sana.